Inginnya, Tenang.

#33: Di mana ketenangan itu ada?

Nur Zhafirah
3 min read4 days ago
Photo by Johannes Plenio on Unsplash

Terkadang kita sibuk mencari kebahagiaan, tapi kita lupa mencari ketenangan.

Apalah arti dari sebuah kebahagiaan, jika hati tak menikmati setiap detik waktu yang terus berjalan, setiap detak jantung yang terus berdetak dan setiap langkah kaki yang terus melangkah.

Jika kita benar-benar bahagia, mengapa kita terlihat seperti gelas kosong? Padahal, sehari-hari kita selalu menuangkan air digelas kita dengan harta dan jabatan yang kita miliki, pasangan yang kita cintai, anak-anak kita yang cerdas, lingkungan yang selalu memberikan support system yang baik.

Terus menerus berusaha memenuhi ekspetasi orang-orang sekitar agar ‘terkesan’ bahwa hidup yang kita jalani bisa menjadi goals untuk kehidupan orang lain.

Secara tidak sadar, orang-orang seperti saya yang melihat kebahagiaan selalu ditampakkan dipublik memicu hormon dopamin semakin meningkat. Membuat diri kita semakin terlibat dengan standar hidup yang orang lain ciptakan.

Dan tertanamlah pemikiran, bahwa kita hidup harus mengikuti standar society. Hal ini tentu dapat menghilangkan jati diri kita sendiri.

Kalau kita hidup hanya untuk terus menerus memenuhi ekspetasi orang lain, kapan kita bisa menjadi diri sendiri dan dapat menikmati hidup dengan hati yang tenang?

Maka dari itu, penting bagi kita membangun boundaries agar dapat menyampaikan kebutuhan dan keinginan sendiri tanpa banyak terpengaruh dari luar.

Saya ingin mengutip poin penting dari sebuah buku ‘What’s So Wrong About Your Trauma and Expectation’ karya Ardhi Mohamad, ia mengatakan;

Kita harus melatih diri kita untuk bersyukur. It’s one of the keys.

Tanpa ini, apapun yang kita miliki, seisi dunia nggak akan merasa cukup dan membahagiakan.

Sebaliknya, walaupun kita nggak punya banyak hal di dunia ini, tapi kita punya skill bersyukur yang besar, maka kita akan merasa cukup dan bahagia.

Bersyukur nggak hanya tentang ketika kita mendapatkan hal-hal baik, lalu kita mensyukurinya. Tapi bersyukur mostly, it comes from within.

Bahkan dilevel tertinggi, seseorang dapat bersyukur dengan kekurangan dan musibah yang ia dapat. Kalau saya bilang ini adalah another level of faith.

Semakin seseorang melatih rasa syukurnya, semakin ia tidak menjadi manusia yang terlalu berangan-angan. Ia tidak akan sibuk membandingkan dirinya sendiri, karena ia paham setiap orang telah diberi ‘jatah kehidupan’ yang berbeda-beda dari Allah Subhanahu wa ta’ala.

Di halaman 210 dalam buku ‘What’s So Wrong About Your Trauma and Expectation’ karya Ardhi Mohamad kalian akan menemukan bahwa terkadang kita sendiri juga luput dari persoalan ini.

Kita sering salah mengira,

Bahagia = mendapatkan atau memiliki hal-hal yang kita inginkan dan setelah mendapatkan itu semua itu artinya kita telah mendapatkan ketenangan.

Kalau hanya ada dua pilihan:

a. Kita kaya raya, punya jabatan, tapi dihantui ketidaktenangan.

b. Kita tidak memiliki itu semua, tapi diliputi ketenangan.

Mana yang akan kita pilih?

Pasti memilih yang kedua kan?

Karena itu yang sebenarnya kita inginkan.

Ketenangan dalam menjalani hidup. Itu yang mahal. Itu yang semua orang cari.

Dan, sekarang, kembali diri kita.

Apakah ekspektasi-ekspektasi yang kita bentuk membawa kita pada sebuah ketenangan?

Atau justru sebaliknya?

Apakah ekspektasi-ekspektasi yang kita bentuk mendekatkan diri kita kepada Allah atau malah menjauhkan kita?

Karena, nggak ada hal yang sepadan di dunia ini yang bisa menggantikan ketenangan hidup kita, selain dengan mendekatkan diri kepada Allah.

Rabb semesta alam, Yang Maha Menjaga, Maha Memelihara, Maha Pemberi Rezeki, Maha Pemaaf, Maha Pengampun, Maha Pemberi Keputusan, Yang Maha Adil, Yang Maha Bijaksana, Maha Perkasa, Yang Memberi Keamanan, Yang Mahakaya, Yang Maha Mencukupi, Yang Maha Memberi Kecukupan Dengan Kadar Yang Tepat, Yang Mengurusi Segala Keperluan Makhluk, Yang Maha Penolong, Yang Maha Berkuasa Terhadap Segala Urusan, Yang Mahadekat, Yang Maha Memberi Kebaikan, Yang Maha Mendengar, Yang Maha Mengawasi, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Memberi Petunjuk.

Yang Maha Sempurna, yang kekal, yang nggak akan mengecewakan.

Allah Ta’ala berfirman,

{الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ}

Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS ar-Ra’du:28).

Artinya: dengan berzikir kepada Allah Ta’ala segala kegalauan dan kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan kesenangan

Bahkan tidak ada sesuatupun yang lebih besar mendatangkan ketentraman dan ketenangan hati manusia melebihi berzikir kepada Allah Ta’ala

--

--

Nur Zhafirah

Lulusan Manajemen Rumah Sakit | Konten kreator muslimah | Mengobati overthinking dengan menulis.